SELAMAT DATANG DI WEBLOG QSP INDONESIA. HP. +6282-301433410 (Abi) # JADWAL: Diselenggarakan Hari XXX, Tempat: di xxx. Pkl. xxx WIB -

Sabtu, 16 Mei 2015

Stres dan Perubahan Hidup

Cara lain yang dilakukan peneliti untuk menyelidiki hubungan stres dengan penyakit adalah dengan memperhitungkan stres dalam kaitannya dengan perubahan hidup (atau peristiwa hidup). Perubahan hidup menjadi sumber stres bila perubahan hidup tersebut menuntut kita untuk menyesuaikan diri. Perubahan hidup ini dapat berupa peristiwa menyenangkan seperti pernikahan, dan peristiwa yang menyedihkan seperti kematian orang tercinta. 

           Meskipun perubahan hidup yang menyenangkan (positif) maupun tidak menyenangkan (negatif) dapat menyebabkan stres, perubahan hidup yang positif mengakibatkan gangguan yang lebih ringan daripada perubahan hidup yang negatif. Dengan kata lain, stres karena pernikahan lebih ringan daripada stres yang disebabkan oleh perceraian atau perpisahan. Perlu dicatat pula bahwa tidak mengalami peristiwa apa pun (misalnya, tidak ada perubahan hidup) juga dapat menimbulkan stres dan berhubungan kuat dengan risiko masalah kesehatan fisik.


Faktor-faktor Psikologis yang mengurangi Stres
            Stres merupakan fakta hidup, tapi cara kita menghadapi stres menentukan kemampuan kita untuk mengatasi stres tersebut. Individu bereaksi secara berbeda terhadap stres tergantung berbagai faktor psikologis seperti: bagaimana individu memaknai peristiwa yang menimbulkan stres tersebut. Contohnya suatu peristiwa hidup seperti kehamilan, merupakan stresor negatif atau positif tergantung pada seberapa besar hasrat pasangan untuk memiliki anak dan kesiapan mereka merawat seorang anak. Dapat dikatakan, stres karena kehamilan ditentukan oleh seberapa besar nilai seorang anak bagi pasangan dan persepsi mereka terhadap kemampuan mereka membesarkan anak. Selanjutnya perlu kita ketahui faktor-faktor psikologis yang dapat mengurangi atau menahan efek dari stres, sebagai berikut:  

Ketahanan Psikologis
Ketahanan psikologis dapat membantu dalam mengelola stres yang dialami. Penelitian tentang ketahanan psikologis terutama adalah kontribusi dari Suzane Kobasa (1979) dan koleganya yang menyelidiki para eksekutif bisnis yang memiliki ketahanan terhadap penyakit, walaupun mereka mengalami beban stres yang berat. Tiga perangai utama yang membedakan ketahanan psikologis para eksekutif tersebut yaitu:

  1. Komitmen yang tinggi. Para eksekutif tangguh ini yakin sekali pada apa yang mereka lakukan dan melibatkan diri sepenuhnya terhadap pekerjaan dan situasi kerja. Mereka tidak pernah mencoba untuk menjauhkan diri dari situasi dan pekerjaan mereka.
  2. Tantangan yang tinggi. Para eksekutif yang tangguh percaya perubahan merupakan suatu hal yang normal, mereka tidak terpaku pada kondisi stabil saja, tetapi tertantang untuk mengatasi atau melakukan perubahan.
  3. Pengendalian yang kuat terhadap hidup. Para eksekutif yang tangguh percaya dan bertindak dengan keyakinan bahwa diri mereka sendirilah yang menentukan reward dan hukuman (ganjaran positif dan negatif) yang mereka terima dalam hidup ini.

Optimisme
Penelitian lain juga menunjukkan adanya hubungan antara optimisme dengan kesehatan yang lebih baik. Misalnya, pasien yang mempunyai pikiran lebih pesimis selama masa sakitnya akan lebih menderita dan mengalami distres. Pikiran-pikiran pesimistis itu misalnya: “Saya tidak dapat melakukan apa-apa lagi,” Tidak ada orang yang peduli pada penderitaanku,” dan “Tidak adil kalau saya hidup seperti ini.”
Dalam suatu studi pada pasien sakit jantung, sikap optimis menunjukkan tingkat depresi yang lebih rendah ketika dievaluasi setahun kemudian dan pasien-pasien lain yang mengalami prosedur operasi bypass arteri koroner yang mempunyai sikap lebih optimis tentang operasi tersebut menunjukkan hasil yang lebih baik (adanya komplikasi yang lebih sedikit apabila harus menjalani perawatan di rumah sakit atau operasi kembali) daripada pasien yang lebih pesimistis.          


Dukungan Sosial
Semakin luasnya jaringan kontak sosial yang dimiliki seseorang berhubungan dengan besarnya resistansi/ketahanan terhadap berkembangnya infeksi ketika seseorang terkena virus flu biasa. Para penyelidik percaya bahwa memiliki kontak sosial yang luas membantu bahwa orang-orang dengan tingkat dukungan sosial yang lebih tinggi kelihatannya akan hidup lebih lama. Dalam studi terhadap orang Swedia, para peneliti mengobservasi para laki-laki separuh baya yang mengalami stres berat yang disebabkan karena kesulitan keuangan atau masalah serius dengan anggota keluarga. Ditemukan bahwa laki-laki yang stres berat dan tidak mendapat dukungan sosial kemungkinan terancam kematian 3 kali lipat lebih besar dalam jangka waktu 7 tahun daripada orang-orang yang mengalami stres rendah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar