SELAMAT DATANG DI WEBLOG QSP INDONESIA. HP. +6282-301433410 (Abi) # JADWAL: Diselenggarakan Hari XXX, Tempat: di xxx. Pkl. xxx WIB -

Sabtu, 16 Mei 2015

Stres dan kekebalan Tubuh

Sistem kekebalan (immune system) adalah sistem pertahanan tubuh melawan penyakit. Perlawanan terhadap penyakit ini dilakukan dengan berbagai cara. Tubuh Anda secara konstan melakukan misi untuk mencari dan membunuh mikroba. Berjuta sel darah putih yang disebut leukosit (leukocytes), adalah pasukan sistem kekebalan tubuh dalam peperangan mikroskopis ini. Leukosit secara sistematis menyelubungi dan membunuh patogen (pathogens) seperti bakteri, virus, dan jamur; sel-sel tubuh yang sudah rusak; dan sel-sel kanker.

Leukosit mengenai patogen-patogen yang menyerang ini dari lapisdan permukaan mereka yang disebut antigen (antigens), atau bisa dikatakan sebagai generator antibodi. Beberapa leukosit memproduksi antibodi (antibodies) protein khusus yang melekat pada sel-sel yang dianggap asing, menonaktifkan sel-sel tesebut, memberi tanda bagian mana yang harus dihancurkan.Limfosit khusus yaitu ”memory lymphocytes”  (limfosit adalah suatu jenis leukosit) tidak bertugas menghancurkan sel-sel asing, tetapi berfungsi sebagai cadangan. Limfosit ini dapat berada dalam aliran darah selama bertahun-tahun dan membentuk pasokan untuk memberikan respon kekebalan yang cepat terhadap penyerangan berikutnya.

Semakin banyak bukti menunjukkan bahwa stres membuat kita rentan terhadap penyakit karena melemahnya sistem kekebalan tubuh, membuat kita rentan terhadap penyakit umum seperti demam dan flu, dan meningkatkan risiko berkembangnya penyakit kronis, termasuk kanker.

Demikian juga berbagai stresor psikologis seperti gejala umum mereka yang merasakan suatu tekanan persoalan, seperti keadaan yang digambarkan pada seorang anak yang akan mengahadapi ujian sekolahnya, biasanya pasti menghadapi suatu beban dalam fikirannya seperti sulit tidur, atau karena stres  mengalami peristiwa traumatis seperti gempa bumi, angin badai, atau bencana alam dan teknologi lainnya, ataupun karena kekerasan. Masalah kehidupan seperti perceraian atau tidak memiliki pekerjaan dalam waktu lama juga mempengaruhi sistem kekebalan.  

Menurut Jemmott (1983), dukungan sosial tampaknya mengurangi efek negatif stres dalam sistem kekebalan tubuh. Sebagai contoh peneliti menemukan bahwa mahasiswa yang memiliki banyak teman mempunyai daya tahan tubuh yang lebih baik daripada mahasiswa yang mempunyai teman sedikit. Begitu pula Menurut Glaser (1985), siswa-siswa yang kesepian menunjukkan penurunan respon kekebalan yang lebih besar dibandingkan siswa-siswa yang memiliki dukungan sosial yang lebih banyak. Dan penelitian Kiecolt (1987) menerangkan orang yang baru bercerai pada rumah tangganya juga menunjukkan bukti-bukti memiliki respon kekebalan yang menurun, terutama bagi mereka yang lebih terikat dengan mantan  pasangannya. 

Pemaparan terhadap stres dikaitkan dengan peningkatan dan risiko berkembangnya influenza. Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Stone dkk., (1994), orang-orang yang dilaporkan mengalami tingkatan stres harian yang lebih tinggi, seperti tekanan di tempat kerja, menunjukkan antibodi yang lebih rendah dalam darah mereka yang berfungsi melawan virus flu. Pada penelitian lain, Cohen dkk (1998) memaparkan tentang stres kronis yang parah bila berlangsung selama sebulan atau lebih dan terkait dengan pekerjaan yang tidak menentu, seperti: pengangguran, atau masalah pribadi dengan anggota keluarga atau teman, dapat diasosiasikan dengan resiko berkembangnya influenza yang lebih besar. Namun, dukungan sosial dapat meningkatkan ketahanan pada influenza. Para peneliti menemukan bahwa orang yang memiliki tipe hubungan sosial yang lebih beragam-dengan pasangan, anak-anak, keluarga lainnya, teman, kolega, anggota organisasi dan kelompok religi, dan seterusnya-lebih kecil kemungkinannya dibandingkan orang lain untuk terserang influenza. Dalam agama juga telah dianjurkan agar kita penting melakukan hubungan sosial antar sesama atau bagi umat Islam dikenal dengan ”memperbanyak silaturahmi” dan banyak berkawan pada orang-orang yang memiliki pandangan positif. 

Peneliti tentang stres, Hans Selye (1976) menciptakan istilah sindrom adaptasi menyeluruh (general adaptation syndrome / GAS) untuk menjelaskan pola respons biologis umum terhadap stres yang berlebihan dan berkepanjangan. Model GAS menyatakan bahwa dalam keadaan stres, tubuh kita seperti jam dengan sistem alarm yang tidak berhenti sampai tenaganya habis.

            Gas terdiri tiga tahap: tahap reaksi waspada (alarm reaction), tahap resistensi (resistance stage), tahap kelelahan (exhaustion stage). Persepsi terhadap stresor yang muncul secara tiba-tiba (contohnya sebuah mobil yang menyalip mobil Anda di jalan tol) akan memicu munculnya reaksi waspada. Reaksi ini menggerakkan tubuh untuk mempertahankan diri. Diawali oleh otak dan diatur oleh sistem endokrin dan cabang simpatis dari sistem saraf otonom. Pada tahun 1929, Walter Cannon, seorang ahli fisiologi (Harvard University) menyebut pola respons ini sebagai “reaksi berjuang atau melarikan diri (fight-or-flight reaktion)”. Apabila stresor bersifat persisten, kita akan mencapai tahap resistansi (resistance stage), atau tahap adaptasi pada GAS. Respon-respons endokrin dan sistem simpatis (misalnya, melepaskan hormon-hormon stres) tetap pada tingkat tinggi, tetapi tidak setinggi sewaktu tahap reaksi waspada. Pada tahap ini tubuh membentuk tenaga baru dan memperbaiki kerusakan. Apabila stresor tetap berlanjut atau terjadi stresor baru yang memperburuk keadaan, kita dapat sampai pada tahap kelelahan (exhaustion stage) dari GAS. Meskipun daya tahan terhadap stres antar individu berbeda, semua individu pada akhirnya kelelahan atau kehabisan tenaga. Tahap kelelahan ditandai oleh dominasi cabang parasimpatis dari ANS (susunan saraf otonom). Sebagai akibatnya, detak jantung dan kecepatan nafas menurun. Apabila kondisi sumber stres menetap, kita mengalami apa yang disebut Selve sebagai “penyakit adaptasi” (diseases of adaptation). Penyakit adaptasi ini rentangnya panjang, mulai dari reaksi alergi sampai penyakit jantung, bahkan sampai pada kematian.

PENGARUH TUBUH SEHUBUNGAN DENGAN STRES 

·         Kortikosteroid dilepaskan
·         Efinefrin dan nonefinefrin dilepaskan
·         Detak jantung, kecepatan pernapasan dan tekanan darah meningkat
·         Otot kaku
·         Darah berpindah dari organ dalam ke otot rangka
·         Pencernaan terganggu
·         Gula dilepaskan oleh hati
·         Kemampuan pembekuan darah meningkat

Stres memicu reaksi waspada. Reaksi ini ditandai oleh sekresi kortikosteroid, catecholamines, dan aktivitas cabang simpatis susunan saraf otonom. Reaksi waspada menggerakkan tubuh untuk berperang dan melawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar