Sistem kekebalan (immune system) adalah sistem pertahanan
tubuh melawan penyakit. Perlawanan terhadap penyakit ini dilakukan dengan
berbagai cara. Tubuh Anda secara konstan melakukan misi untuk mencari dan
membunuh mikroba. Berjuta sel darah putih yang disebut leukosit (leukocytes), adalah pasukan sistem
kekebalan tubuh dalam peperangan mikroskopis ini. Leukosit secara sistematis
menyelubungi dan membunuh patogen (pathogens)
seperti bakteri, virus, dan jamur; sel-sel tubuh yang sudah rusak; dan sel-sel
kanker.
Leukosit mengenai patogen-patogen yang menyerang
ini dari lapisdan permukaan mereka yang disebut antigen (antigens), atau bisa dikatakan sebagai generator antibodi. Beberapa leukosit memproduksi antibodi
(antibodies) protein khusus yang melekat pada sel-sel yang dianggap asing,
menonaktifkan sel-sel tesebut, memberi tanda bagian mana yang harus
dihancurkan.Limfosit khusus yaitu ”memory lymphocytes”
(limfosit adalah suatu jenis leukosit) tidak bertugas menghancurkan
sel-sel asing, tetapi berfungsi sebagai cadangan. Limfosit ini dapat berada
dalam aliran darah selama bertahun-tahun dan membentuk pasokan untuk memberikan
respon kekebalan yang cepat terhadap penyerangan berikutnya.
Semakin banyak bukti menunjukkan bahwa stres
membuat kita rentan terhadap penyakit karena melemahnya sistem kekebalan tubuh,
membuat kita rentan terhadap penyakit umum seperti demam dan flu, dan
meningkatkan risiko berkembangnya penyakit kronis, termasuk kanker.
Demikian juga berbagai stresor psikologis seperti
gejala umum mereka yang merasakan suatu tekanan persoalan, seperti keadaan yang
digambarkan pada seorang anak yang akan mengahadapi ujian sekolahnya, biasanya
pasti menghadapi suatu beban dalam fikirannya seperti sulit tidur, atau karena
stres mengalami peristiwa traumatis
seperti gempa bumi, angin badai, atau bencana alam dan teknologi lainnya,
ataupun karena kekerasan. Masalah kehidupan seperti perceraian atau tidak
memiliki pekerjaan dalam waktu lama juga mempengaruhi sistem kekebalan.
Menurut Jemmott (1983), dukungan sosial tampaknya
mengurangi efek negatif stres dalam sistem kekebalan tubuh. Sebagai contoh
peneliti menemukan bahwa mahasiswa yang memiliki banyak teman mempunyai daya
tahan tubuh yang lebih baik daripada mahasiswa yang mempunyai teman sedikit.
Begitu pula Menurut Glaser (1985), siswa-siswa yang kesepian menunjukkan
penurunan respon kekebalan yang lebih besar dibandingkan siswa-siswa yang
memiliki dukungan sosial yang lebih banyak. Dan penelitian Kiecolt (1987)
menerangkan orang yang baru bercerai pada rumah tangganya juga menunjukkan
bukti-bukti memiliki respon kekebalan yang menurun, terutama bagi mereka yang
lebih terikat dengan mantan pasangannya.
Pemaparan terhadap stres dikaitkan dengan
peningkatan dan risiko berkembangnya influenza. Dalam sebuah studi yang
dilakukan oleh Stone dkk., (1994), orang-orang yang dilaporkan mengalami
tingkatan stres harian yang lebih tinggi, seperti tekanan di tempat kerja,
menunjukkan antibodi yang lebih rendah dalam darah mereka yang berfungsi
melawan virus flu. Pada penelitian lain, Cohen dkk (1998) memaparkan tentang
stres kronis yang parah bila berlangsung selama sebulan atau lebih dan terkait
dengan pekerjaan yang tidak menentu, seperti: pengangguran, atau masalah
pribadi dengan anggota keluarga atau teman, dapat diasosiasikan dengan resiko
berkembangnya influenza yang lebih besar. Namun, dukungan sosial dapat
meningkatkan ketahanan pada influenza. Para peneliti menemukan bahwa orang yang
memiliki tipe hubungan sosial yang lebih beragam-dengan pasangan, anak-anak,
keluarga lainnya, teman, kolega, anggota organisasi dan kelompok religi, dan
seterusnya-lebih kecil kemungkinannya dibandingkan orang lain untuk terserang
influenza. Dalam agama juga telah dianjurkan agar kita penting melakukan hubungan
sosial antar sesama atau bagi umat Islam dikenal dengan ”memperbanyak silaturahmi”
dan banyak berkawan pada orang-orang yang memiliki pandangan positif.
Peneliti tentang stres, Hans Selye (1976)
menciptakan istilah sindrom adaptasi menyeluruh (general adaptation syndrome / GAS)
untuk menjelaskan pola respons biologis umum terhadap stres yang berlebihan dan
berkepanjangan. Model GAS menyatakan bahwa dalam keadaan stres, tubuh kita
seperti jam dengan sistem alarm yang tidak berhenti sampai tenaganya habis.
Gas terdiri tiga tahap:
tahap reaksi waspada (alarm reaction), tahap resistensi
(resistance stage), tahap kelelahan (exhaustion stage). Persepsi
terhadap stresor yang muncul
secara tiba-tiba (contohnya sebuah mobil yang menyalip mobil Anda di jalan tol)
akan memicu munculnya reaksi waspada. Reaksi ini menggerakkan tubuh untuk
mempertahankan diri. Diawali oleh otak dan diatur oleh sistem endokrin dan
cabang simpatis dari sistem saraf otonom. Pada tahun 1929, Walter Cannon, seorang
ahli fisiologi (Harvard University) menyebut pola respons ini sebagai “reaksi
berjuang atau melarikan diri (fight-or-flight reaktion)”. Apabila
stresor bersifat persisten, kita akan mencapai tahap resistansi (resistance stage), atau tahap adaptasi
pada GAS. Respon-respons endokrin dan sistem simpatis (misalnya, melepaskan
hormon-hormon stres) tetap pada tingkat tinggi, tetapi tidak setinggi sewaktu
tahap reaksi waspada. Pada tahap ini tubuh membentuk tenaga baru dan
memperbaiki kerusakan. Apabila stresor tetap berlanjut atau terjadi stresor
baru yang memperburuk keadaan, kita dapat sampai pada tahap kelelahan (exhaustion
stage) dari GAS. Meskipun daya tahan terhadap stres antar individu
berbeda, semua individu pada akhirnya kelelahan atau kehabisan tenaga. Tahap
kelelahan ditandai oleh dominasi cabang parasimpatis dari ANS (susunan saraf
otonom). Sebagai akibatnya, detak jantung dan kecepatan nafas menurun. Apabila kondisi
sumber stres menetap, kita mengalami apa yang disebut Selve sebagai “penyakit
adaptasi” (diseases of adaptation). Penyakit adaptasi ini rentangnya panjang,
mulai dari reaksi alergi sampai penyakit jantung, bahkan sampai pada kematian.
PENGARUH TUBUH SEHUBUNGAN
DENGAN STRES
·
Kortikosteroid dilepaskan
·
Efinefrin dan nonefinefrin dilepaskan
·
Detak jantung, kecepatan pernapasan dan tekanan darah
meningkat
·
Otot kaku
·
Darah berpindah dari organ dalam ke otot rangka
·
Pencernaan terganggu
·
Gula dilepaskan oleh hati
·
Kemampuan pembekuan darah meningkat
Stres memicu reaksi waspada. Reaksi ini ditandai oleh sekresi
kortikosteroid, catecholamines, dan aktivitas cabang simpatis susunan saraf
otonom. Reaksi waspada menggerakkan tubuh untuk berperang dan melawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar