Selain terkait dengan proses
mengasah kecerdasan, dimana setiap orang punya bentuk keterbatasan yang
berbeda-beda, akurasi dan validitas intuisi juga terkait dengan jam terbang,
spesialisasi atau wilayah perjuangan hidup. Penulis punya intuisi yang lebih
tajam untuk hal-hal yang terkait dengan tulisan, begitu juga dengan teknisi IT
yang sudah bisa mengetahui sebelum tahu. Sama juga dengan pengusaha, politikus,
dan lain-lain. Memang harus diakui, ada sebagian orang yang memiliki intuisi
hanya spesifik, sesuai bidangnya, dan ada pula yang memiliki ketajaman intuisi
secara jenerik, dalam arti mampu melampaui bidangnya. Misalnya seorang guru
yang bisa melihat muridnya secara intuitif. Itu sepertinya sudah merupakan hak
prerogatif Tuhan untuk membedakan dan menyamakan manusia.
Keterbatasan lainnya adalah
mengikuti intuisi yang pas untuk keadaan yang pas. Ini juga tidak seratus
persen dapat kita jamah. Adakalanya intuisi itu tampil dalam bentuk blitz
(cahaya) yang sudah langsung tergambar di otak dari hati, innate feeling
(perasaan yang mengarahkan kita), kecondongan keyakinan, terulangnya kejadian
yang kebetulan tapi tidak kebetulan, dan lain-lain.
Kapasitas untuk mengambil
keputusan berdasarakan tool yang nyata, seperti pengetahauan, reasoning, dan
seterusnya. Tuhan pun memberi kita tool yang tidak nyata. Mulai dari intuisi,
hidayah, ilham, feeling, insting, mimpi, dan seterusnya. Bedanya pada kualitas
kinerja. Supaya kinerjanya bagus, harus dilatih. Supaya latihannya jalan,
memang harus ada connectedness dengan metode-metode yang dapat dipahami secara
pendekatan logis dan ilmiah, dalam rangka meraih sebuah kecerdasan yang genius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar